Senin, 08 April 2013

Ceritaku tentang “aku” dan “pendapatku”



Semester 6, tanpa disadari aku hampir 3 tahun menindih bangku cokelat bekas pantat orang-orang hebat. Ruang ber-AC kadang membuatku terlalu nyaman dan lupa akan asal, bahwa aku hanya seorang ndeso yang dengan keberuntungan tingkat dewa bisa bertemu calon-calon dewa. Tugas-tugas kecil dari dosen kadang terlalu menyibukkanku hingga tak sempat tidur untuk bermimpi tugas besar sebagai seorang mahasiswa. Aku terlalu sering diadili karena tanggungjawab-tanggungjawab kecil tanpa sekalipun ditanyai tanggungjawab besar sebagai seorang mahasiswa. Haha lupakan saja mengenai keluhan-keluhan kecilku tadi, jangan sampai keluhan-keluhan itu membuatku lupa dengan keluhan berjuta pasang mata tanpa harap disekitar istana penyamun.
Aku adalah pengamat yang tak terlalu baik, tapi mata julingku ini masih dengan jelas melihat tengadahan tangan, dengan jelas pula melihat kemegahan raja dan ratu kampus yang berlari angkuh melindas gundukan harapan di sepanjang jalan-jalan berlubang. Aku juga seorang pendengar yang baik, telinga sempitku masih mampu menangkap rintih-rintih kaum ibu yang membanting harga untuk susu dan makan anaknya. Aku juga masih sanggup mendengar lantunan puisi para pencuri dari stasiun televisi yang sibuk memperkaya diri. Haha lupakan saja semua curhatanku, bahkan aku jarang mendengar curhatan kawanku sendiri.
Kadang aku heran, para petinggi-petinggi itu terlalu berharap banyak pada mahasiswa-mahasiswa sepertiku. Mereka berharap aku dan generasiku akan mengubah nasib kaumnya. Sedang aku dan geneasiku juga berharap mereka mampu terbitkan kebijakan ampuh untuk hapus ribuan keluh dari jutaan buruh. Kami saling melempar tanggungjawab tanpa ada yang menangkap, haha bola akan mudah disergap oleh bule-bule bejat yang akan membuat kita semakin melarat.
Hah, entahlah. Aku ingin fokus pada diriku, keluargaku dan karirku. Semoga suatu saat aku bisa berbuat untuk “kita” tanpa melupakan “mereka”. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top